Ketua Majelis Hakim Diganti Mendadak?

JAKARTA - Saat sidang pembacaan putusan (vonis), yang tertunda hingga Senin (10/6/2013), mendadak Majelis Hakim diganti. Ada apa? Saat dikonfirmasi kepada Bagus Irawan, perihal pergantian susunan Majelis Hakim yang terkesan mendadak?. Beliau tidak mau berkomentar. Menurutnya, pergantian Majelis Hakim dilakukan sehubungan dirinya  sudah menerima Surat Keputusan (SK) pindah tugas ke Pengadilan Negeri Mataram.

Dirinya hanya menjawab, sudah tidak berwenang untuk menjawab pertanyaan Wartawan. “Saya sudah tidak menjadi Humas. Tolong rekan-rekan Wartawan, mencari jawabannya melalui Humas yang sekarang,” pintanya. Tapi, lanjut Bagus Irawan, jika tidak puas. Silakan, minta komentar kepada Ketua Pengadilan.

Adapun  Majelis Hakim yang baru, diketuai  R. Iim Nurohim. Sedangkan, para terdakwa  merasa kecewa mendengar sidang  pembacaan putusan ditunda. Pasalnya,  bolak balik dari Rumah Tahanan menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanpa hasil. Menurut mereka,  tuduhan Jaksa Penutut Umum (JPU) Mustofa, tidak benar. Apalagi sampai menuntut hukuman penjara selama tujuh tahun.

Perbuatan terdakwa, menurut JPU, melanggar  Pasal 3 Ayat (1) huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana telah diubah UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),  jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Namun, menurut Pakar Hukum Perdata, Hariman, dalam kasus sengkarut  penjualan tanah Yayasan Fatmawati, diterapkan  UU TPPU kepada terdakwa perlu dipertanyakan?.


"Ini tidak ada perkara pokoknya. Ini transaksi biasa, tapi tahu-tahu sudah diterapkan pasal pencucian uang," kata Hariman. Hariman menuturkan, sebelum jaksa menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada para terdakwa harus ada putusan pengadilan terlebih dahulu.

"Artinya, uang ini dari mana dan harus ada putusan pengadilan, baru diterapkan pasal pencucian uang jika telah terbukti. Perkara ini logikanya melompat, jadi pidana pokoknya tidak ada. Itu harus sesuai undang-undang, harus ada pidana pokoknya," sesalnya.

Dia menambahkan, penjualan tanah Yayasan Fatmawati itu merupakan jual beli biasa, sehingga tidak ada kewajiban pihak penjual, yang mendapat kuasa dari Yayasan Fatmawati untuk menjual tanah tersebut. Mereka pun tak punya kewajiban untuk menanyakan dari mana uang yang digunakan untuk membeli tanah tersebut.

"Jadi, kalau kita melakukan jual beli enggak perlu mengetahui uang itu, kecuali petugas PPATK atau petugas yang berhak menanyakan. Secara hukum, jual beli itu sah jika sudah memenuhi Pasal 13 UU No 20 KUH Perdata," ungkap Hariman.

Sementara itu, kuasa hukum Yohanes Sarwono cs, Hermawi Taslim mengatakan, kliennya tidak melakukan penipuan sebagaimana yang dituduhkan. Selaku perantara yang diberi kuasa, mereka tidak menggelapkan uang karena dana dari pembeli itu diserahkan ke pihak yayasan.

"Jadi apa dan siapa yang ditipu dan apa yang digelapkan? Uang dari PT GNU, itu yang menerima Yayasan Fatmawati,"  jelasnya. Bahkan,  sebelum jaksa dapat menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang kepada tiga terdakwa , maka harus ada putusan pengadilan, bahwa uang sebesar Rp 20 milyar yang diterima Yayasan Fatmawati itu berasal dari tindak pidana kejahatan. (US)
Pencucian Uang (Money Laundry) ,  Yohanes Sarwono, Stevanus Farok, dan Umar Muchsin. Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat, Suharto, mengganti susunan Majelis Hakim pada hari yang sama, Rabu (5/6/2013).

JADILAH ORANG PERTAMA YANG MENGOMENTARI :



Dikirim oleh GLOBAL MEDIA online pada 05.07. dan Dikategorikan pada . Kamu dapat meninggalkan komentar atau pesan terkait berita / artikel diatas

.

.

.


.

.

Pengunjung Online

2010 Global Media Online. All Rights Reserved. - Designed by Global Media Online